Tuesday, February 28, 2012

Aku mengandai sebuah cerita 1

                Menutup  kisah dengan mengetahui bahwa ia sedang bahagia, tapi tidak dengan kita yang selalu setia. Kita seorang wanita selalu meyakinkan diri, bahwa jika ia bahagia maka kita pun juga ikut kelam dalam bahagianya. Tapi keyakinan itu tidak sebegitu megah kupegang, karena berbeda dengan yang dirasakan hati ini sekarang. Buktinya, aku sangat tidak terima, tangan itu digenggam dan diraba oleh tangan kasar lainnya. Ia tahu tanganku kasar habis mencuci, aku hidup dengan tanganku, tidak seperti pesolek itu yang hidup dengan tangannya di celana seorang pria, yang sekarang adalah dirimu.
                Tapi, masa kurenggut benda bahagiamu? Aku lebih terhina, melihat mu menangis karena cemburuku. Aku juga tak ingin diam, melihatmu terus dilahap oleh pesona kata  pesolek itu, tak heran pesolek itu selalu mendengung dalam bicaranya, bahkan dia sering diam namun terus merayap dan mengigitmu. Ia sering merangkulmu, agar hartamu juga ikut merangkulnya. Tapi hati ini terus berkata diam memerintah jiwaku yang berontak dalam raga. Mengingatkanku, supaya wajah senyummu tetap terlukis dalam setiap ceritamu tentang si pesolek kepadaku setiap petang di rumahmu.
                Aku terlibat sebuah perang dengan akal sehatku. Jiwa ku menyerah mengibarkan bendera putih, mengikuti siapa pemenang dalam hati. Itu terjadi begitu lama, sehingga tidak terlihat di mata jiwaku, terlalu banyak korban tumbang karena sengatan yang dalam dari indera yang diperintah hatiku tanpa sengaja. Kuhentikan sejenak perang itu, dan menenangkan diri.
                Dalam hening rintik hujan mebasahi udara dengan khasnya setiap ia jatuh, menutup sang matahari diganti dengan mendung. Kau ada di depan rumahku saat ini, setelah sebuah pesan dalam kotak canggih milikku berdering. Isinya, kau ingin bertatap dengan ku segera petang ini. Bertanya namun tak berani menjawab sendiri.  di sana kamu berdiri, air menggeluti tubuhmu dan perlahan terjatuh melalui pori-pori atau menggantung.  Meski  lampu rumahku tak cukup menerangi sisi tubuhmu yang lain, jiwaku mengangguk mengenalimu, wajahmu terlihat kaku memutih, dalam tanganmu ada kotak canggih seperti milikku. Sudah lama aku tak melihat sosokmu, karena komitmenku. Itu karena aku lebih tak sanggup melihatmu, apalagi dengan pesolek itu.
                Aku ingin segera tau ceritamu!

0 comments:

Post a Comment

 
;